Blog Milik Adi

Blog yang dibuat oleh anak aneh, dan rada stres...

Pengamat

Powered By Blogger

Buku Tamu

Selamat Datang

Selamat datang di Blog Milik Adi, semoga isinya bermanfaat bagi anda yang membacanya.

Mengenai Saya

Nama Saya Muhammad Adi Nugroho, sekarang kelas 9(SMP kelas 3), itu saja.

1.Pilih File-Save As Web Page

2. Akan muncul window seperti berikut. Page title menunjukkan judul web, ganti dengan
menekan tombol change title. File name menunjukkan nama file. Jika sudah sesuai keinginan,
tekan save
3. Selesai. 

Beberapa hari yang lalu saya sempat mengalami kejadian yang aneh. Saat sedang berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan bersama dengan ayah saya, kakak saya, dan tentunya saya sendiri. Mobil yang seharusnya kami tumpangi mengalami gangguan, untungnya mobil itu sedang berada di tempat parkir pusat perbelanjaan tersebut. Pengendali kunci dan alarm mobil tersebut mengalami arus pendek, sehingga alarm mobil terus menyala. Sialnya, mobil tersebut otomatis mengunci seluruh sistem sehingga mobil tak bisa berjalan. Kami menjadi bingung, tetapi ayah saya sudah pernah mengalami hal serupa. Dia menghentikan sumber alarm suara(entah bagaimana caranya) sehingga alarm suara berhenti. Selama hampir 1 jam lebih kami mencoba memperbaiki mobil tersebut. Ayah saya menelpon temannya untuk meminta bantuan, mengikuti bantuan dari temannya, ayah saya berhasil menyalakan mobil tersebut kembali. Saya sempat berkata pada ayah saya "Udah ga bisa kali nih." Ayah saya menjawabnya dengan ucapan "Tidak ada yang tidak bisa di dunia ini." Saya merasakan bahwa ayah saya memiliki rasa optimisme yang sangat besar ketika ia berkata seperti itu. Kejadian ini membuat saya berpikir, bawha optimisme dan kemauan merupakan kunci dari keberhasilan seseorang. Seperti kata pepatah "Dimana ada kemauan, disitu ada jalan." Tentunya rasa optimis yang kita miliki harus sesuai dengan keadaaan. Kita tidak boleh pesimis, atau malah terlalu optimis sehingga sombong. Saya selalu mengalami kesulitan dalam mengukur kadar optimisme dalam diri saya, terkadang saya pesimis atau malah sombong. Sampai sekarang saya masih mencoba mengukur rasa optimisme dalam diri saya, dan tentunya membuatnya seimbang. Mampukah kita semua menimbulkan rasa optimis dalam hidup kita tanpa kesombongan? Semoga post ini bermanfaat bagi pembacanya.


Saya kira para pembaca pasti sudah pernah merasakan kegelapan, dimana kita tidak bisa melihat dengan jelas, semua terlihat hitam dan gelap. Tidak hanya kegelapan itu sendiri, pembaca pasti sudah pernah merasakan takut di dalam gelap. Dimana terdapat sebuah perasaan was-was dan cemas terhadap sesuatu. Kita sebut saja hantu, cobalah berdiam di suatu tempat sunyi dan senyap. Tidakkah anda merasa takut atas makhluk aneh itu, ketika tiba-tiba ia berada di belakang anda, dan mengagetkan anda dengan mudahnya. Tentunya tidak harus hantu yang kita takutkan di gelap, mungkin seseorang yang tiba-tiba menyergap kita. Sampai sekarang saya masih ingat betapa takutnya saya menaikkan beberapa atraksi ekstrim di Dufan. Ketakutan itu sebenarnya terjadi karena saya belom naik atraksi itu. Toh, setelah saya naiki, saya justru senang dan lega masih bisa selamat. Jadi, apakah sebenarnya rasa takut itu? Takut adalah sebuah keadaan dimana seseorang cemas terhadap sesuatu yang belum diketahuinya. "Sesuatu" ini dapat berupa benda nyata atau khayalan. Sebutlah hantu, yang ternyata berupa khayalan orang yang ketakutan. Mungkin mata si orang yang ketakutan memproyeksikan apa yang sedang dipikirkan oleh otaknya saat itu, dan pada waktu itu dia sedang berpikir tentang hantu. Mungkin mudah mempelajari tentang takut ini, tapi masihkah kita bisa menghadapi kejadian-kejadian tak terduga dalam kehidupan kita? Mengatasi ketakutan terhadap hidup, membuat keputusan-keputusan besar dalam hidup kita, membuat langkah berani demi cerahnya masa depan kita, mampukah kita? Semoga post ini bermanfaat bagi pembacanya.

Entah kenapa saya membuat post ini, tidak biasanya saya mencurahkan isi hati saya di dalam post. Tapi untuk blog kali ini saya akan mencoba mengungkap isi hidup saya, semoga ada hikmahnya. Peristiwa ini terjadi sehabis Ulangan Umum, seperti pelajar biasa, saya melemparkan tas saya ke tempat tidur, dan berkata "Hahahaha!!! Selesai semua habis!!"  Dengan penuh rasa suka cita dan kelegaan, saya menggeliatkan diri saya di atas tempat tidur, berlari menuju komputer, dan yah.. main. Perasaan ini tidak jauh beda dari perasaan di saat saya puasa. Umat Islam di seluruh dunia pasti pernah merasakan nikmatnya berbuka di saat puasa, sangat menyenangkan bukan? Kelegaan inilah yang akhirnya menjadi pertanyaan di benak saya. Sebelum ulangan umum, ayah saya selalu berpesan "Nak, belajarlah supaya nilaimu bagus, sesal kemudian tak berguna, No Pain No Gain." Memang benar ucapan ayah saya itu. Anehnya, setiap ulangan umum saya selalu belajar, tidak seperti hari-hari biasa, dimana saya hanya bermain dan bermain. Terkadang, sebetulnya sering sekali, saya merasa bosan belajar. Ingin rasanya saya mengaktifkan komputer yang sedang tidur tenang di pandangan saya. Terbayanglah gambaran muka Ayah saya yang sedang murka, segera saya menarik kembali buku saya, dan membacanya sembari mendengarkan musik. Betapa tidak ikhlasnya belajar saya, saya selalu ingin bermain. Mungkin saya sudah berkonsentrasi, tapi hanya 70% paling banyak yang terpusat. Yang lebih aneh lagi, jika komputer dan seluruh mainan saya "disegel" oleh kedua orang tua saya. Yah, mungkin saya akan belajar, dengan konsentrasi hanya 50%. Mengapa? Ya tentu saja karena saya berpikir tentang mainan saya, dan stres, atau overheat. Entah kenapa, saya tidak bisa berkonsentrasi 100% ketika belajar di rumah, berkonsentrasi penuh hanya kemungkinan saya lakukan di sekolah, saat pelajaran itu diterangkan. Yang sampai sekarang saya masih pertanyakan adalah, bisakah saya ikhlas dalam belajar? Bisakah saya tidak buru-buru bermain setelah Ulangan Umum? Dan bisakah saya belajar tanpa harus ada paksaan dan limit waktu? Semoga post ini bermanfaat bagi para pembacanya.

(Semua cerita disini merupakan cerita fiksi.)

Langit pagi hari ini masih diselimuti oleh awan hitam. Musim hujan datang lebih cepat dari biasanya. Anak-anak yang biasa berlarian dan tertawa dibawah sinar mentari, sekarang tidur tenang di bawah selimutnya.  Kembali kulihat brankasku, sial! Tidak ada sepeserpun uang disana. Perusahaan yang memperkerjakanku memecat diriku. Krisis ekonomi membuat perusahaan itu tidak mampu membayar gaji pekerjanya.  Awan hitam sudah mulai menipis. Jam menunjukkan pukul 12.00. Seperti biasa, aku memulai perburuanku mencari makanan murah. Dengan uang Rp.20.000 aku harus berjuang untuk hidup di kota Jakarta yang sangat kejam ini. Ketika aku sedang menyuap nasi berlauk ikan asin, seseorang datang menghampiriku. “Eh, Sunadi ya? Wah kebetulan kita bertemu disini!” Manusia aneh itu mengawali pembicaraan kami. Dia Kusrone, sekampung denganku. Dulunya di kampung ia dikenal sebagai bocah nakal. Pada umur 18 tahun dia berkelana ke Jakarta, tak ada yang tahu bagaimana kelanjutannya. Anehnya, tiba-tiba aku bertemu dengannya di sebuah warteg bobrok. “Wah Kusrone! Sudah lama tak jumpa!” kucoba berbasa-basi. Setelah berbincang cukup lama, aku mencoba mencari lowongan kerja dari Kusrone.

”Kus, aku habis di-PHK nih, kamu ada pekerjaan buat aku enggak?”

“Wah, ternyata nasib kita sama! Aku memang tak punya pekerjaan. Tapi, aku punya rencana.”

“Rencana?”

“Ya rencana, tapi ini memerlukan kehati-hatian yang sangat ekstrim.”

Hm… Perkataaan Kusrone menimbulkan sebuah pertanyaan di benakku.

“Jelaskan Kus.”

“Begini, kau tahu Riyanto Manungkusumo kan? Itu, koruptor paling sukses di Indonesia.”

“Ya,ya aku tahu. Kabarnya dia menghilang, aneh.”

“Dan yang lebih aneh lagi, dia tinggal di dekat sini. 2 blok dari rumahku.”

“Lalu, apa hubungannya dengan pekerjaan ini?

“Karena tak ingin menyolok. Rumahnya dibuat bobrok dan tidak ada penjaganya. Seluruh hartanya disimpan olehnya di dalam gudang bawah tanah jadi, rencanaku adalah membunuh si Riyanto dan mencuri hartanya!”

Diriku tersentak kaget! Betapa perbuatan yang kotor dan sangat beresiko!

“Kus, apa kau gila? Perhitungkan resiko yang kita terima. Hukuman mati Kus!”

“Adakah jalan lain? Ada orang bilang, yang haram aja susah gimana yang halal. Lagipula, uangmu takkan cukup bahkan untuk hidup berhari-hari di Jakarta!”

Benar juga ucapan Kusrone, uang 20.000 tidak akan mampu membiayai hidupku seumur hidupku, bahkan 2 hari saja sudah habis.

“Baiklah Kus, akan kupikirkan. Besok kita ketemu lagi disini.”

Kuakhiri pembicaraan berat ini dan mengarah kembali ke rumahku. Konflik batin menyerang diriku. Apakah harus kupertahankan kesucianku selama ini? Atau menghancurkan semuanya demi segenggam nasi? Semuanya terlihat begitu aneh. Mereka bilang Tuhan menyayangi umatnya, tetapi mengapa masih ada manusia-manusia miskin, manusia-manusia merana. Apakah keberadaan Surga dan Neraka itu sebuah keniscayaan? Apakah Tuhan itu benar-benar ada? Terlalu banyak pertanyaan yang tidak kita ketahui jawabannya. Semuanya datang begitu mendadak. Rasanya baru kemarin aku mendulang kesuksesan diterima kerja di perusahaan yang mengeluarkanku. Padahal, itu sudah berlalu 2 bulan yang lalu. Rencana pulang ke kampung tak terpikirkan olehku sedikitpun, karena gunung berapi yang ada di kampungku meletus dan menghancurkan seluruh rumah. Mungkin yang tersisa dari kampung kami hanya Kusrone dan aku. Aku sendiri ke Jakarta karena cabang kantorku di Jogjakarta memindahkanku ke Jakarta. Keanehan demi keanehan terjadi setelah kejadian aneh itu. Mulai dari rumah kontrakan yang kutinggali ternyata juga dihuni oleh makhluk gaib, kecelakaanku tertabrak sepeda motor yang membuatku hampir mati, bos di kantor yang berselingkuh terang-terangan dengan sekretarisnya dan selalu menumpahkan pekerjaan sekretarisnya kepadaku, sampai aku di-PHK dan bertemu dengan Kusrone. Semuanya membuat aku berpikir apakah Tuhan benar-benar ada atau tidak. Tidak maukah Ia melepaskan kesialan-kesialan yang terus kualami dan mungkin yang akan kua alami? Kutatap langit, awan hitam sudah mulai muncul kembali. Segera kupacu langkahku menuju rumah, semua kulakukan karena aku tak ingin membuang uangku hanya untuk membeli obat. Ah, tidur malam hariku tak senyenyak hari-hari lalu. Terlintas di pikiran kehidupan sengsara “hidup segan mati tak mau”, yang kemudian berganti menjadi pemandangan seorang manusia kaya dari uang jarahan hasil mencuri, yang kemudian berganti lagi menjadi gambaran bui yang sangat gelap dan sempit. Semuanya berganti dan terus berganti, bagaikan film lama yang sering kulihat di layar tancap sewaktu aku masih kecil. Ah, kusudahi saja renunganku ini dan mulai menuju ke dunia mimpi. Tak terasa matahari sudah bersinar, jam menunjukkan pukul 10.00. Rupanya kemarin aku merenung sampai pukul 23.00. Cih! Betapa hancurnya diriku ini! Ingin rasanya tanganku mengambil pisau di dapur dan mengupas jantungku dengan kulit ini! Mengapa? Mengapa harus ada orang sengsara seperti ini! Kuputuskan menuju warung yang sudah menjadi langgananku. Benar saja, Kusrone sudah menunggu di tempat yang kami janjikan.

“Jadi, bagaimana? Kita putuskan saja saat ini juga.”

Kuhela napas dengan sangat berat.

“Baiklah…. Aku setuju. Kau benar.. Kapan kita mulai?”

“Malam ini juga, ikutlah denganku. Akan aku perlihatkan semua persiapannya.”

Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Mungkinkah hidup hanya dengan Rp.20.000,- di Jakarta yang semerawut ini? Jika memang aku tertangkap, tangkaplah! Gantunglah diriku, tembaklah diriku, atau hanguskanlah diriku! Betapa kejamnya dunia yang kutinggali ini. Mereka bilang rakyat miskin menjadi tanggung jawab pemerintah, nyatanya? Bah, hanya seberkas tinta berisi janji kosong yang tak pernah terbukti! Indonesia memang Negara hukum. Ya, hukum janji kosong, hanya bicara tanpa bertindak, tak terbukti. Hanya ini satu-satunya jalan yang bisa kutempuh. Yah, mungkin tidak satu-satunya jalan, tapi aku bukanlah manusia sabar yang akan terus menunggu kehendak tuhan. Jika memang begini kenyataannya, harus kucari jalan yang dapat mengembalikan kesejahteraanku. Sebelum kewarasanku menghilang dari tubuhku ini. Perjalanan yang singkat ini menjadi lama karena otakku terus berpikir dan berpikir. Entah apa yang terlintas di pikiranku, semuanya terlalu kusut, bagaikan pita kaset yang telah rusak. Langkahku mulai melambat, rupanya aku hampir sampai ke tujuan. Rumahnya cukup bagus, sederhana, paling tidak masih cukup menyenangkan untuk ditinggali. “Beristirahatlah dulu disini, kita masih punya waktu 12 jam sampai tengah malam. Kau boleh tidur di sofa atau di kamar samping, masih ada kasur di sana.” Alas tidur sudah bukan masalah lagi bagiku, yang penting aku bisa membaringkan tubuhku dan beristirahat. Kulihat cahaya, remang, agak terang, hingga akhirnya menjadi terang. “Wah-wah, sepertinya dirimu letih sekali. Kau sudah tidur selama 10 jam! Makanlah dulu, kita akan berangkat setelah kau makan.” Rupanya mie rebus beserta telur dadar sudah tersedia di meja makan, ditambah nasi sebagai pelengkap. Sudah lama aku tidak melihat makanan seenak ini, tanpa memperdulikan keadaan di sekitarku. Akhirnya aku lepas dari lauk ikan teri yang selalu kumakan selama ini. Senang rasanya dapat kembali merasakan lezatnya semangkuk mie rebus dengan telur dadar beserta nasi. Ah, seperti di surga rasanya. Mungkin hanya semangkuk mie rebus, tapi bagi seseorang yang selalu memakan ikan teri atau bahkan nasi aking, lauk mie rebus bagaikan pizza terlezat di dunia bagi orang kaya. Tak terasa mangkuk di meja itu sudah kosong, habis tak tersisa bagian dalamnya. “Baiklah, kau sudah selesai makan. Waktunya tinggal sebentar lagi, sebaiknya kita bersiap-siap. Gunakan pisau ini, ketajamannya bisa disamakan dengan pedang yang digunakan di perang salib. Kita tidak akan menggunakan pistol, terlalu berbahaya dan beresiko” Ketajaman dari pisau itu memang tidak dapat diragukan lagi. Begitu tajam bagaikan taring seekor macan yang siap menyantap mangsanya, begitu tajam, begitu berhasrat, begitu inginnya tangan ini menusukkan pisau ini ke dalam jantung korbannya. Jiwa setan sudah merasuk dalam hatiku, begitu kotor. Aku bisa merasakannya, seluruh perasaaan jahat merasuk dalam diriku, membunuh malaikatku.

“Mari kita berangkat, kita akan menggunakan mobil. Sepertinya jarahan kita akan melimpah. Jangan lupa gunakan sarung tangan dan topengmu.” Aku menganggukkan kepala mendengar perkataan Kusrone. Akhirnya saat seperti ini datang juga. Tidak sampai 15 menit mobil yang kutunggangi sudah berhenti. “Kita sudah sampai, ini denah rumah Riyanto, dan dengarkan baik-baik strateginya. Kau bergerak menuju ke kamar Riyanto, habisi dia, dan ingat tanpa suara. Sementara kau membereskan mayat Riyanto, aku akan mencari lokasi gudang bawah tanah itu. Lakukan secepat mungkin, begitu mesin mobil aku matikan segera berlari ke pintu.” Mesin mobil dimatikan, mengikuti perintah Kusrone aku segera berlari menuju pintu. Kusrone menyusulku, membuka pintu dengan menggunakan sebuah lempengan besi yang sangat tipis yang dimasukkan ke dalam lubang kunci layaknya menggunakan kunci sebenarnya, dan pintunya terbuka. Entah teknik apa yang dipergunakannya, tapi sudah tak ada waktu lagi. Segera aku berlari menuju kamar Riyanto. Masih kuingat denah itu dengan jelas, sejelas pandangan seekor harimau buas terhadap seekor kijang yang sedang merumput. Begitu cepat aku berlari, secepat langkah singa di padang gurun yang sedang mengejar seekor zebra. Begitu tajam mataku mengawasi jalan, setajam mata elang yang sedang mengintai seekor ular. Hilang semua suara langkahku, ucapanku napasku, detak jantungku, sesunyi kegelapan malam yang digunakan burung hantu sebagai sarana memburu seekor tikus. Manusia tidak bisa lepas dari sikap binatang, yang selalu bisa membunuh, memburu, atau bahkan membunuh bangsa sendiri. Disinilah kurasakan kehancuran sikap baik yang selalu kupupuk selama ini. Semua sirna hanya dalam satu malam, malam ini. Jantungku berdetak kencang, pikiranku kacau, napasku tidak teratur. Di sisi lain, kurasakan kenikmatan berlari, mengejar mangsa, menggengam sebuah pisau yang akan berlumuran darah ini, semuanya begitu menyenangkan. Bukan, bukan menyenangkan, tapi memuaskan. Hasrat membunuhku mulai muncul, hasrat melihat darah segar berlumuran di pisauku ini di tanganku, begitu tragis. Kini kulihat mangsaku di depanku, tanpa ragu sedikitpun di hati kutusukkan pisau tajam ini di jantungnya. Semuanya begitu berdarah. Aku bisa melihat darah segar memuncrat dari jantungnya, dari mulutnya kulihat darah keluar. Darah itu begitu segar, merah bagaikan sirup yang baru kuminum 1 jam yang lalu. Entah kenapa darah yang keluar itu tidak sedikitpun yang memberi ketakutan di benakku. Kepuasan adalah satu-satunya perasaan di hatiku saat ini. Tragiskah ketika seseorang tersenyum di atas kematian orang lain? Mungkin itu yang terlintas di benakku beberapa saat yang lalu. Kini semuanya telah sirna, setan telah mengatur diriku, mengambil hatiku, mengguncang otakku. Membuat semua yang tragis menjadi menyenangkan. Rasanya seperti telah menginjak tanah di surga, tapi itu tak mungkin. Dosa besar telah kupikul di pundakku, membunuh seseorang, bukankah itu berdosa?  Tangan-tanganku yang merah ini menjadi saksi bisu kejahatan yang telah kulakukan ini. Kalau memang membunuh memberiku kepuasan, bukankah itu merupakan sebuah pikiran seorang psikopat? Entahlah apa yang terjadi pada diriku saat ini. Persetan dengan semua pelajaran-pelajaran moral yang pernah diberikan kepadaku! Betapa brengseknya diriku di mata guru-guruku! Semua sudah sirna, hilang, dan hancur tak tersisa! Kudengar pintu kamar Riyanto terbuka, rupanya itu adalah Kusrone. “Sunadi, semua barang sudah kumasukkan ke dalam mobil” Aku bisa melihat tangan Kusrone sudah memegang sebuah pistol. Rasa curigaku mulai muncul

“Kus, kau tak bermaksud untuk menggunakan pistol itu kan?”

“Apa?! HAHAHAHA!!! Perkataanmu membuatku ingin tertawa! Sunadi, Sunadi, kepolosan dirimu ternyata masih terdapat di dirimu itu ya. Tidakkah aneh ketika seseorang tiba-tiba mengajakmu untuk membunuh dan merampok orang lain walaupun yang mengajak adalah temanmu? Kau begitu polos dan lugu Sunadi! Begitu mudah diperalat. HAHAHA!!! Yang berada di tangan kananku ini adalah sebuah pistol bius, dengan satu peluru kau akan tertidur dalam tiga detik, matamu yang kurang tidur itu akan memperkuat bukti bahwa kau merampok dan tertidur. Polisi di Indonesia sangat naif, sama seperti dirimu. Mereka akan percaya dan menangkapmu. Sekarang kau boleh coba kekuatan pistol bius ini!”

“Brengsek kau Kusrone!!!” Itulah kata-kata yang terakhir kuucapkan sebelum aku kehilangan kesadaran dan telah berada di dalam kotak besi. Sekarang aku berdiri, mengenggam jeruji besi dengan tangan merahku. Di sini di penjara ini, aku bersumpah akan membalas perlakuan Kusrone kepadaku. Entah sekarang atau kapan atau mungkin di akhirat nanti, dia akan merasakan bagaimana rasanya diburu oleh seekor hewan buas yang sangat ganas, tanpa ada belas kasih dan rasa ampun. Kapan Kusrone akan menemui saat yang menyenangkan itu?  Saat kepalanya dikuliti dengan tanganku ini, saat otaknya kutusuk dengan pisau yang telah kupakai untuk mengicipi darah Riyanto, dan saat dimana malaikat maut menarik ruhnya dari tubuhnya. Aku akan selalu menunggu dan menunggu…

(ini puisi, aneh dan autis. Terserah sih kalo mau dibaca.)

Di tepi pantai ku berdiri
Memandang indahnya matahari terbenam
Begitu memesona, begitu indah
Tapi kutahu ada yang lebih indah

Di kedamaian yang tenang
Kudengar dentingan harpa dewa-dewi Olympus
Begitu merdu, begitu indah
Tapi kutahu ada yang lebih indah

Di atas rumput hijau ku menapak
Mengagumi pelangi penuh warna
Begitu berwarna, begitu indah
Tapi kutahu ada yang lebih indah

Kududuk disini, merenung
Terlintas bayangan dirimu
Begitu indah, sangat indah
Adakah yang lebih indah?