Buku Tamu
Selamat Datang
Mengenai Saya
- Muhammad Adi Nugroho
- Nama Saya Muhammad Adi Nugroho, sekarang kelas 9(SMP kelas 3), itu saja.
1.Pilih File-Save As Web Page
Beberapa hari yang lalu saya sempat mengalami kejadian yang aneh. Saat sedang berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan bersama dengan ayah saya, kakak saya, dan tentunya saya sendiri. Mobil yang seharusnya kami tumpangi mengalami gangguan, untungnya mobil itu sedang berada di tempat parkir pusat perbelanjaan tersebut. Pengendali kunci dan alarm mobil tersebut mengalami arus pendek, sehingga alarm mobil terus menyala. Sialnya, mobil tersebut otomatis mengunci seluruh sistem sehingga mobil tak bisa berjalan. Kami menjadi bingung, tetapi ayah saya sudah pernah mengalami hal serupa. Dia menghentikan sumber alarm suara(entah bagaimana caranya) sehingga alarm suara berhenti. Selama hampir 1 jam lebih kami mencoba memperbaiki mobil tersebut. Ayah saya menelpon temannya untuk meminta bantuan, mengikuti bantuan dari temannya, ayah saya berhasil menyalakan mobil tersebut kembali. Saya sempat berkata pada ayah saya "Udah ga bisa kali nih." Ayah saya menjawabnya dengan ucapan "Tidak ada yang tidak bisa di dunia ini." Saya merasakan bahwa ayah saya memiliki rasa optimisme yang sangat besar ketika ia berkata seperti itu. Kejadian ini membuat saya berpikir, bawha optimisme dan kemauan merupakan kunci dari keberhasilan seseorang. Seperti kata pepatah "Dimana ada kemauan, disitu ada jalan." Tentunya rasa optimis yang kita miliki harus sesuai dengan keadaaan. Kita tidak boleh pesimis, atau malah terlalu optimis sehingga sombong. Saya selalu mengalami kesulitan dalam mengukur kadar optimisme dalam diri saya, terkadang saya pesimis atau malah sombong. Sampai sekarang saya masih mencoba mengukur rasa optimisme dalam diri saya, dan tentunya membuatnya seimbang. Mampukah kita semua menimbulkan rasa optimis dalam hidup kita tanpa kesombongan? Semoga post ini bermanfaat bagi pembacanya.
Saya kira para pembaca pasti sudah pernah merasakan kegelapan, dimana kita tidak bisa melihat dengan jelas, semua terlihat hitam dan gelap. Tidak hanya kegelapan itu sendiri, pembaca pasti sudah pernah merasakan takut di dalam gelap. Dimana terdapat sebuah perasaan was-was dan cemas terhadap sesuatu. Kita sebut saja hantu, cobalah berdiam di suatu tempat sunyi dan senyap. Tidakkah anda merasa takut atas makhluk aneh itu, ketika tiba-tiba ia berada di belakang anda, dan mengagetkan anda dengan mudahnya. Tentunya tidak harus hantu yang kita takutkan di gelap, mungkin seseorang yang tiba-tiba menyergap kita. Sampai sekarang saya masih ingat betapa takutnya saya menaikkan beberapa atraksi ekstrim di Dufan. Ketakutan itu sebenarnya terjadi karena saya belom naik atraksi itu. Toh, setelah saya naiki, saya justru senang dan lega masih bisa selamat. Jadi, apakah sebenarnya rasa takut itu? Takut adalah sebuah keadaan dimana seseorang cemas terhadap sesuatu yang belum diketahuinya. "Sesuatu" ini dapat berupa benda nyata atau khayalan. Sebutlah hantu, yang ternyata berupa khayalan orang yang ketakutan. Mungkin mata si orang yang ketakutan memproyeksikan apa yang sedang dipikirkan oleh otaknya saat itu, dan pada waktu itu dia sedang berpikir tentang hantu. Mungkin mudah mempelajari tentang takut ini, tapi masihkah kita bisa menghadapi kejadian-kejadian tak terduga dalam kehidupan kita? Mengatasi ketakutan terhadap hidup, membuat keputusan-keputusan besar dalam hidup kita, membuat langkah berani demi cerahnya masa depan kita, mampukah kita? Semoga post ini bermanfaat bagi pembacanya.
Entah kenapa saya membuat post ini, tidak biasanya saya mencurahkan isi hati saya di dalam post. Tapi untuk blog kali ini saya akan mencoba mengungkap isi hidup saya, semoga ada hikmahnya. Peristiwa ini terjadi sehabis Ulangan Umum, seperti pelajar biasa, saya melemparkan tas saya ke tempat tidur, dan berkata "Hahahaha!!! Selesai semua habis!!" Dengan penuh rasa suka cita dan kelegaan, saya menggeliatkan diri saya di atas tempat tidur, berlari menuju komputer, dan yah.. main. Perasaan ini tidak jauh beda dari perasaan di saat saya puasa. Umat Islam di seluruh dunia pasti pernah merasakan nikmatnya berbuka di saat puasa, sangat menyenangkan bukan? Kelegaan inilah yang akhirnya menjadi pertanyaan di benak saya. Sebelum ulangan umum, ayah saya selalu berpesan "Nak, belajarlah supaya nilaimu bagus, sesal kemudian tak berguna, No Pain No Gain." Memang benar ucapan ayah saya itu. Anehnya, setiap ulangan umum saya selalu belajar, tidak seperti hari-hari biasa, dimana saya hanya bermain dan bermain. Terkadang, sebetulnya sering sekali, saya merasa bosan belajar. Ingin rasanya saya mengaktifkan komputer yang sedang tidur tenang di pandangan saya. Terbayanglah gambaran muka Ayah saya yang sedang murka, segera saya menarik kembali buku saya, dan membacanya sembari mendengarkan musik. Betapa tidak ikhlasnya belajar saya, saya selalu ingin bermain. Mungkin saya sudah berkonsentrasi, tapi hanya 70% paling banyak yang terpusat. Yang lebih aneh lagi, jika komputer dan seluruh mainan saya "disegel" oleh kedua orang tua saya. Yah, mungkin saya akan belajar, dengan konsentrasi hanya 50%. Mengapa? Ya tentu saja karena saya berpikir tentang mainan saya, dan stres, atau overheat. Entah kenapa, saya tidak bisa berkonsentrasi 100% ketika belajar di rumah, berkonsentrasi penuh hanya kemungkinan saya lakukan di sekolah, saat pelajaran itu diterangkan. Yang sampai sekarang saya masih pertanyakan adalah, bisakah saya ikhlas dalam belajar? Bisakah saya tidak buru-buru bermain setelah Ulangan Umum? Dan bisakah saya belajar tanpa harus ada paksaan dan limit waktu? Semoga post ini bermanfaat bagi para pembacanya.
(Semua cerita disini merupakan cerita fiksi.)
Langit pagi hari ini masih diselimuti oleh awan hitam. Musim hujan datang lebih cepat dari biasanya. Anak-anak yang biasa berlarian dan tertawa dibawah sinar mentari, sekarang tidur tenang di bawah selimutnya. Kembali kulihat brankasku, sial! Tidak ada sepeserpun uang disana. Perusahaan yang memperkerjakanku memecat diriku. Krisis ekonomi membuat perusahaan itu tidak mampu membayar gaji pekerjanya. Awan hitam sudah mulai menipis. Jam menunjukkan pukul 12.00. Seperti biasa, aku memulai perburuanku mencari makanan murah. Dengan uang Rp.20.000 aku harus berjuang untuk hidup di
”Kus, aku habis di-PHK nih, kamu ada pekerjaan buat aku enggak?”
“Wah, ternyata nasib kita sama! Aku memang tak punya pekerjaan. Tapi, aku punya rencana.”
“Rencana?”
“Ya rencana, tapi ini memerlukan kehati-hatian yang sangat ekstrim.”
Hm… Perkataaan Kusrone menimbulkan sebuah pertanyaan di benakku.
“Jelaskan Kus.”
“Begini, kau tahu Riyanto Manungkusumo
“Ya,ya aku tahu. Kabarnya dia menghilang, aneh.”
“Dan yang lebih aneh lagi, dia tinggal di dekat sini. 2 blok dari rumahku.”
“Lalu, apa hubungannya dengan pekerjaan ini?
“Karena tak ingin menyolok. Rumahnya dibuat bobrok dan tidak ada penjaganya. Seluruh hartanya disimpan olehnya di dalam gudang bawah tanah jadi, rencanaku adalah membunuh si Riyanto dan mencuri hartanya!”
Diriku tersentak kaget! Betapa perbuatan yang kotor dan sangat beresiko!
“Kus, apa kau gila? Perhitungkan resiko yang kita terima. Hukuman mati Kus!”
“Adakah jalan lain?
Benar juga ucapan Kusrone, uang 20.000 tidak akan mampu membiayai hidupku seumur hidupku, bahkan 2 hari saja sudah habis.
“Baiklah Kus, akan kupikirkan. Besok kita ketemu lagi disini.”
Kuakhiri pembicaraan berat ini dan mengarah kembali ke rumahku. Konflik batin menyerang diriku. Apakah harus kupertahankan kesucianku selama ini? Atau menghancurkan semuanya demi segenggam nasi? Semuanya terlihat begitu aneh. Mereka bilang Tuhan menyayangi umatnya, tetapi mengapa masih ada manusia-manusia miskin, manusia-manusia merana. Apakah keberadaan Surga dan Neraka itu sebuah keniscayaan? Apakah Tuhan itu benar-benar ada? Terlalu banyak pertanyaan yang tidak kita ketahui jawabannya. Semuanya datang begitu mendadak. Rasanya baru kemarin aku mendulang kesuksesan diterima kerja di perusahaan yang mengeluarkanku. Padahal, itu sudah berlalu 2 bulan yang lalu. Rencana pulang ke kampung tak terpikirkan olehku sedikitpun, karena gunung berapi yang ada di kampungku meletus dan menghancurkan seluruh rumah. Mungkin yang tersisa dari kampung kami hanya Kusrone dan aku. Aku sendiri ke
“Jadi, bagaimana? Kita putuskan saja saat ini juga.”
Kuhela napas dengan sangat berat.
“Baiklah…. Aku setuju. Kau benar.. Kapan kita mulai?”
“Malam ini juga, ikutlah denganku. Akan aku perlihatkan semua persiapannya.”
Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Mungkinkah hidup hanya dengan Rp.20.000,- di Jakarta yang semerawut ini? Jika memang aku tertangkap, tangkaplah! Gantunglah diriku, tembaklah diriku, atau hanguskanlah diriku! Betapa kejamnya dunia yang kutinggali ini. Mereka bilang rakyat miskin menjadi tanggung jawab pemerintah, nyatanya? Bah, hanya seberkas tinta berisi janji kosong yang tak pernah terbukti!
“Mari kita berangkat, kita akan menggunakan mobil. Sepertinya jarahan kita akan melimpah. Jangan lupa gunakan sarung tangan dan topengmu.” Aku menganggukkan kepala mendengar perkataan Kusrone. Akhirnya saat seperti ini datang juga. Tidak sampai 15 menit mobil yang kutunggangi sudah berhenti. “Kita sudah sampai, ini denah rumah Riyanto, dan dengarkan baik-baik strateginya. Kau bergerak menuju ke kamar Riyanto, habisi dia, dan ingat tanpa suara. Sementara kau membereskan mayat Riyanto, aku akan mencari lokasi gudang bawah tanah itu. Lakukan secepat mungkin, begitu mesin mobil aku matikan segera berlari ke pintu.” Mesin mobil dimatikan, mengikuti perintah Kusrone aku segera berlari menuju pintu. Kusrone menyusulku, membuka pintu dengan menggunakan sebuah lempengan besi yang sangat tipis yang dimasukkan ke dalam lubang kunci layaknya menggunakan kunci sebenarnya, dan pintunya terbuka. Entah teknik apa yang dipergunakannya, tapi sudah tak ada waktu lagi. Segera aku berlari menuju kamar Riyanto. Masih kuingat denah itu dengan jelas, sejelas pandangan seekor harimau buas terhadap seekor kijang yang sedang merumput. Begitu cepat aku berlari, secepat langkah singa di
“Kus, kau tak bermaksud untuk menggunakan pistol itu
“Apa?! HAHAHAHA!!! Perkataanmu membuatku ingin tertawa! Sunadi, Sunadi, kepolosan dirimu ternyata masih terdapat di dirimu itu ya. Tidakkah aneh ketika seseorang tiba-tiba mengajakmu untuk membunuh dan merampok orang lain walaupun yang mengajak adalah temanmu? Kau begitu polos dan lugu Sunadi! Begitu mudah diperalat. HAHAHA!!! Yang berada di tangan kananku ini adalah sebuah pistol bius, dengan satu peluru kau akan tertidur dalam tiga detik, matamu yang kurang tidur itu akan memperkuat bukti bahwa kau merampok dan tertidur. Polisi di Indonesia sangat naif, sama seperti dirimu. Mereka akan percaya dan menangkapmu. Sekarang kau boleh coba kekuatan pistol bius ini!”
“Brengsek kau Kusrone!!!” Itulah kata-kata yang terakhir kuucapkan sebelum aku kehilangan kesadaran dan telah berada di dalam kotak besi. Sekarang aku berdiri, mengenggam jeruji besi dengan tangan merahku. Di sini di penjara ini, aku bersumpah akan membalas perlakuan Kusrone kepadaku. Entah sekarang atau kapan atau mungkin di akhirat nanti, dia akan merasakan bagaimana rasanya diburu oleh seekor hewan buas yang sangat ganas, tanpa ada belas kasih dan rasa ampun. Kapan Kusrone akan menemui saat yang menyenangkan itu? Saat kepalanya dikuliti dengan tanganku ini, saat otaknya kutusuk dengan pisau yang telah kupakai untuk mengicipi darah Riyanto, dan saat dimana malaikat maut menarik ruhnya dari tubuhnya. Aku akan selalu menunggu dan menunggu…